Bahan Renungan
MENERAWANG
BUDI PEKERTI
ANAK NEGRI
(Oleh : Sikarang Batukapur, makhluk dungu penggembala angin)
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sebenarnya telah cukup waktu himbauan dan peringatan yang bernada
protes tercanang di mana-mana. Namun tak
pernah kuasa bertahan lama, karena
mungkin dalam paradigma modern sudah tak perlu lagi untuk dipelajari apalagi
dipertahankan untuk ditanamkan di setiap sanubari anak bangsa negeri ini. Apa
itu ? tidak lain adalah pembelajaran budi pekerti secara teori dan praktik yang disyaratkan
setiap siswa untuk ketuntasan belajar, kenaikan kelas, maupun kelulusan.
Dikatakan lepas sama
sekali juga tidak,karena tidak terbilang sedikit lembaga pendikan yang masih memandang perlu adanya penanaman budi
pekerti pada siswa didiknya. Apalagi
dalam kawasan kebijakan kurikulum 2006 maupun 2013 telah diperuncing
adanya pendidikan karakter , yang mana arah sasarannya akan membawa siswa ke
tujuan karakter yang lebih baik. Akan tetapi karena tak ada aturan yang
mengikat dari pihak pemegang kekuasaan ,
maka pembekalan budi pekerti di
setiap sekolah seolah disampaikan seperti dongeng penghantar tidur belaka.
Nampaknya penanaman budi pekerti kepada anak bangsa
telah teranalisa dari kacamata kebebasan yang tak terbatas, karena takut jika
terjadi benturan dengan hak asasi nanusia. Maka budi pekerti semakin dianggap
tak bakal bersentuhan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Apalagi pada kosep penguasan iptek-pun rasa-rasanya
tak ada formula yang melibatkan
unsur-unsur budi pekerti . suatu
contoh, dalam pembelajaran merakit bom misalnya, tentu saja tak ada prosedur :
sebelumnya membaca basmallah dan do’a, memohon ridlo dan barokah agar aktivitas
yang akan dilakukan bermanfaat bagi diri sendiri dan banyak orang, kemudian berikrar bahwa
pembelajaran yang sedang dilakukan dengan tujuan untuk perdamaian dan
kesejahteraan, syukur mohon perijinan dulu pada pihak aparat, dan yang
lain-lain lagi yng bersifat unsure budi pekerti. Prosedur semacam itu tak ada
hubungannya dengan kesuksesan membuat bom. Al hasil, anak bangsa yng cerdas dan
pandai belum tentu memiliki budi pekerti yang baik. Dan pada kesempatan yang
berikutnya, terkabar sebuah peristiwa tragis bom bunuh diri yang mencelakai
orang banyak.
Tak bisa diblokir pemberitaan di media social dan di
media masa, bahwa pentradisian yang dianggap sedang ngetren di kalangan
beberapa siswa adalah menentang kemauan gurunya, bahkan menterpurukkan martabat
orang yang dianggapnya digaji untuk meloloskan kehendaknya. Beberapa guru
menjadi korban akibat transaksi guru dan siswa yang sepihak, tak menyatu.
Sebenarnya, kontra
antara guru dan siswa yang dikabarkan lewat media sosial maupun media masa itu
hanyalah kejadian kecil ditengah peristiwa yang besar. Mengapa begutu ? Tak
perlu menjadi detektif ataupun spionase, cukup terjun di lapangan untuk
memperhatikan bagaimana para siswa itu berperilaku dan berkomunikasi dengan
keluarga, masyarakat, dan guru kesehariannya. Nampaknya tata cara bertutur sapa
dan berperilaku semakin dijauhkan dari adat istiadat yang dibawakan nenek
moyangnya. Bagi penganut ajaran budi pekerti warisan leluhur pastilah akan
timbul kecemasan akan terkuburnya tata karma dan sopan santun yang pada era terdahulu sempat
dinobatkan sebagai ukuran keluhuran budi seseorang. Sekilas memang tak berdampak, paling-paling
menjadi bahan omongan orang yang tak nyaman
dengan perilaku dan tutur sapanya. Namun, norma warisan nenek moyang
yang sekarang diantisipasi para orang hebat dan
tak perlu untuk dipertahankan itu memang benar-benar sudah disiapkan
liang lahatnya, maka menurut pendapat orang
bodoh kerugian yang akan terjadi adalah :
Tak akan dikenalnya lagi apa
yang dinamakan unggah ungguh, tata krama dan sopan santun.
Bagi generasi yang
sekarang ini berada pada tahapan usia setengah baya pastilah bisa membedakan
bagaimana tata cara pergaulan di masa remajanya dengan yang ada sekarang ini.
Tak bisa dibilang “beda tipis”, akan tetapi sudah sangat berlawanan. Sikap
hormat dan segan kepada orang yang lebih tua seolah tak diperlukan lagi,
sehingga dalam bersikap kepada siapapun tidak harus dikendalikan oleh aturan
yang dianggapkan “kocak”. Sebagai contoh yang sangat menyolok, berapa banyak
dari mereka yang mau mengatakan “permisi”, “nuwun sewu”, atau “amit”,ketika
melintasi sekelompok orang yang lebih tua sedang duduk-duduk ? Kalaupun masih
ada, itu dalam jumlah yang sangat sedikikit.
Dalam fenomena lain
sebagai contoh konkrit, pada jam-jam berangkat atau pulang sekolah, banyak
jalan-jalan yang teraniaya oleh kepadatan speda motor yang saling berebut
kemenangan dengan sesama pemakai jalan. Dan gambaran apa yang sering
dipertontonkan sebagai bentuk pelecehan aturan ? Tak sekedar satu dua anak-anak
sekolah di bawah umur mengendarai satu motor dengan tiga atau empat penumpang,
tak pakai helm lagi. Tapi sudah menimbulkan keresahan banyak orang karena bisa
mengancam keselamatan orang lain.
Virus egoisme berkembang lebih pesat
Tentang kerja sama Allah berfirman dalam surat al-Maidah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
Sekarang ini yang namanya kekerasan tak dimonopoli oleh kaum panjahat saja, akan tetapi anak-anak yang semestinya masih jauh dari hasrat menggelari diri sebagai pelaku malahan mengemasnya sebagai sebuah kebanggaan. Mengapa begitu ? Berawal dari pengkomulatifan pelanggaran-pelanggaran kecil di kalangan keluarga, sekolah, dan masyarakat, karena tidak aksi peredaman atau bentuk penolakan atas perilaku amoral tersebut, maka pada fase mendekati puncaknya mereka mengaggap sebagai suatu yang perlu ditradisikan.
Diprediksi sebagai fase yang mendekati puncak, karena pada tahapan yang berkutnya masih berpotensi lebih hebat lagi. Sebagai sampel, bisa disimak di media masa ataupun media sosial tentang sering terjadinya perkelahian antar pelajar, bahkan yang lebih mencemaskan lagi terancamnya keselamatan para guru yang senantiasa memberikan penolakan atas kemauan tak santun murid-muridnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh tindakan destruktif yang bermunculan dimana-mana.
(1) Tak
dikenalnya lagi penggunaan bahasa jawa yang baik dan benar.
(2) Kepribadian
akan berubah fungsi menjadi kemauan
Related Posts: