Pendidikan Karakter
Friday, 12 September 2014, 17:00 WIB
Banyak anak didik kita yang terjebak
berbagai tindakan menyimpang. Ada yang berprofesi sebagai "ayam
sayur" (pekerja seks komersial), ada yang masuk dalam dunia hitam pemakai
dan pengedar narkoba, ada yang terlibat tawuran pelajar, dan tindakan
menyimpang lainnya. Ada apa dengan model pendidikan kita?
Memang, pendidikan karakter tidak mudah
diajarkan di sekolah. Agama yang dituntut menjadi motor penggerak pendidikan
karakter di sekolah acap kali tidak connected (nyambung) dengan berbagai
aktivitas pendidikan di sekolah. Agama bahkan sering terkooptasi dalam model
pendidikan "kuantitatif" (semua serba diberikan skor yang bersifat
kognitif). Padahal, agama semestinya menggunakan penilaian kualitatif dengan
mengukur aspek utamanya adalah afeksi dan psikomotor bukan pada aspek kognitif.
Dalam Kurikulum 2013, pendidikan karakter
menjadi fokus utama. Karakter yang dikembangkan adalah religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab.
Pada dasarnya anak didik memiliki nilai-nilai
itu semua. Namun, karakter yang baik akan bisa muncul kalau mereka melihat
contoh dari guru, orang tua, dan lingkungan (masyarakat)-nya. Emile Drkheim
menyebutkan, karakter yang ada dalam individu-individu adalah social fait
(fakta sosial) di mana orang dipaksa melakukan peran tertentu (externality) dan
mengatribusikan dirinya pada hal-hal yang sudah terlembaga (general) dalam
masyarakat. Jika masyarakatnya memiliki kecenderungan nilai-nilai positif, akan
terbentuk karakter individu yang baik.
Anak-anak didik kita banyak kehilangan figur
teladan. Doktrin di sekolah dengan tujuan mengembangkan "karakter
bangsa" justru banyak terhambat oleh berbagai persoalan implementasinya.
Pendidikan kapitalistis
Nilai-nilai kapitalistis dari sistem
pendidikan kita mewarnai pola pikir sebagian masyarakat. Mereka tidak
mempersoalkan biaya pendidikan sepanjang lembaga-lembaga pendidikan berbau
(promosi) internasional. Masyarakat tidak memedulikan substansi makna
internasional dengan hasil pendidikan yang membangun karakter bangsa yang
berkepribadian Pancasila.
Kasus tindakan kekerasan terhadap anak di
Jakarta International School dapat menjadi model pendidikan yang kapitalistis.
Para orang tua seakan bangga jika anaknya dapat masuk ke sekolah berlabel
"internasional".
Substansi pemaknaan "international"
cenderung diartikan "bergaya" internasional dibandingkan dengan
bermakna nilai-nilai "kompetensi" internasional. Bergaya
internasional lebih mengarah kepada bagaimana mengambil "lifestyle"
atau "budaya Barat" (modernism) seperti bagaimana mengajarkan table
manner (cara makan), menyukai makanan-makanan, cara berbicara (komunikasi),
model kemandirian tanpa peduli lingkungan, dan rasa ingin tahu yang tidak
bernilai.
Dengan demikian, substansi pendidikan karakter
bangsa dilupakan demi meraih "bergaya internasional". Biaya besar
yang dikeluarkan hanya untuk show of force pengakuan status sosial ekonomi
(SSE) tinggi. Pendidikan yang telah dibayar mahal tidak memberikan jaminan
untuk bisa meraih karakter bangsa. Boleh jadi, produksi pendidikan kapitalistis
melahirkan karakter arogan, tidak mau melihat ke dalam (inward looking) diri
bangsa, berorientasi semua serbainternasional yang belum tentu positif.
Pendidikan kapitalistis bahkan menghadirkan
pengelompokan lembaga pendidikan favorit, unggulan, dan biasa. Stigmatisasi
pada lembaga pendidikan semacam ini hanya melahirkan diskreditasi terhadap anak
didik oleh para pendidik dan fasilitas pendidikan yang disediakan negara.
Padahal, kontribusi sekolah dan guru terhadap kualitas pendidikannya lebih
banyak ditunjang oleh lembaga bimbingan belajar (bimbel) dibandingkan
kontribusi guru dalam meraih prestasi masuk ke perguruan tinggi negeri ternama.
Kewajiban negara adalah menyediakan perangkat
pendidikan yang mencukupi untuk dapat melahirkan generasi muda berkarakter.
Perangkat utama yang harus disediakan negara adalah kualitas atau kompetensi
guru agar merata pada semua lembaga pendidikan di Indonesia. Kualitas guru di
Papua harus sama dengan guru di Jakarta dan Aceh.
Pendidikan yang kapitalistis ini jika
dibiarkan terus hadir akan membahayakan cita-cita pendidikan menuju bangsa
berkarakter. Para pemimpin negara di masa datang akan didominasi oleh anak
didik produk pendidikan kapitalistis. Mereka beranggapan bahwa biaya mahal yang
telah dikeluarkan harus break-even point (BEP) saat masuk ke dunia kerja.
Pendidikan kapitalistis bisa menjadi benih
penyimpangan saat masuk ke dunia kerja. Kalau masuk ke dunia birokrasi akan
menjadikan birokrasi sebagai ladang bisnis (korupsi) agar BEP tercapai. Jika
masuk ke dunia swasta pun akan memainkan peran sebagai pengusaha yang tidak
peduli moralitas bisnis, berkolaborasi negatif dengan birokrat, tidak punya
kepedulian sosial. Bahkan, jika mereka gagal di dunia swasta akan masuk dalam
perangkap dunia ilegal, fatalistic (bunuh diri, malapraktik), antisosial,
agresif-negatif, dan ekstremis.
Terjebak tradisi
Pengembangan karakter anak-anak didik juga
acap kali terjebak pada pekerjaan rumah yang dihadapi sekolah. Seperti
sekolah-sekolah yang tidak diunggulkan dibiarkan pemerintah tanpa ada upaya
meningkatkan kualitasnya. Tidak ada "dewa penolong" terhadap sekolah
yang berprestasi biasa-biasa untuk dapat mengangkat grade-nya.
Guru dan kepala sekolah dibiarkan dengan pola
pikir dan gaya mendidiknya yang "tradisional", tidak berusaha
melakukan modifikasi terhadap berbagai perubahan lingkungan yang terjadi. Bahkan,
anak-anak didik sering merasakan "jenuh" dengan materi dan gaya guru
yang mengajar. Sedangkan fasilitas publik di sekolah juga serbaterbatas,
kegiatan ekstra kurikuler juga tidak bisa datang setiap saat ketika jenuh.
Kejenuhan anak didik tidak diantisipasi oleh
guru sekolah dan berketerusan --karena pola pikir dan pengetahuan terbatas,
tidak punya visi pendidikan revolusioner, gaya komunikasi apa adanya-- sehingga
anak-anak bebas melakukan berbagai gaya menyelesaikan kejenuhan. Ada yang
bergerombol di jalan membuat simpul-simpul massa sehingga terjebak dalam
konflik (tawuran), ada yang main ke mal, ada yang memainkan gadget.
Penyimpangan anak-anak didik seakan-akan
dibiarkan menjadi kanal atas kejenuhan dan gaya guru dan sekolah yang
tradisional (tidak melakukan modifikasi). Guru tidak berusaha melebur dengan
murid sehingga berbagai kemungkinan potensi buruk dapat diantisipasi. Guru juga
dapat mengembangkan anak-anak didik jika ada potensi prestatif lain.
Kurikulum 2013 dianggap dapat menjadi solusi berbagai
keluhan anak didik terhadap situasi pendidikan yang terjadi sekarang.
Masalahnya, apakah implementasinya bisa seperti yang diharapkan jika kualitas
dan kompetensi kepemimpinan sekolah, guru, dan infrastruktur pendidikan tidak
menunjang.
Oleh : Erlangga Masdiana
Kriminolog UI
0 Response to "Pendidikan Karakter"
Posting Komentar