Martabat yang bermartabat





Bahan Renungan :

MARTABAT YANG BERMARTABAT
Kado untuk Generasi Penerus Negeri ni
(Kupasan singkat Sikarang Batukapur makhluk dungu penggembala angin)

Wawasan dan pola pikir seseorang pada umumnya memang terbentuk sesuai dengan tingkatan pendidikannya. Baik pendidikan formal maupun Non formal. Barangkali itu bukanlah sebuah analisa yang tak berdasar, jika disimak dari panjang fase pembentukan pola dan kwalitas pikir itu sendiri di bangku pendidikan. Sehingga mereka yang benar-benar bisa memanfaatkan dan melaksanakan fase ini dengan benar, pastilah akan memperoleh potensi pikir yang berkwalitas. Akan tetapi setinggi apapun potensi itu, pada realitasnya hanya berkisar pada konsep teoritis saja, karena perannya dalam perikehidupan masih membutuhkan skill untuk mengaplikasikan potensi pikirnya itu kedalam tindakan nyata agar bisa mendatangkan kemanfaatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Gampang-gampang susah memang, tuntutannya, karena lebih menantang mental dan kesungguhan. Padahal jabaran aplkasi di dalam fenomena kehidupan nyata, tidak selamanya dan tidak semuanya menyenangkan. Tergantung pada pola pikirnya sendiri dalam memartabatkan tindakan itu.
Seseorang yang terbiasa memandang rendah orang lain, pastiah mempunyai sikap dan sifat mendewakan “gengsi”. Mereka akan cenderung memilah-milah tindakan mana yang sesuai dengan kemauan karakternya.
Data riil tentang pengangguran berpendidikan sebagai contoh. Berapa banyak manusia terdidik yang tetap menanti uluran pertolongan demi memimpikan jabatan yang dianggapnya bermartabat di mata orang lain. Sehingga tidur disaat orang lain sedang sibuk kerja, lebih dianggap terhormat dari pada melakukan tindakan apa saja yang menurut pandangan banyak orang pasti bisa dilakukan. Sedangkan di depan orang lain lebih suka “menganggukkan kepala ke atas”, karena merasa punya potensi pikir yang lebih tinggi. Pada akhirnya, mereka yang mengidap kelainan persepsi seperti itu akan menyalahkan orang lain yang tidak membenarkan sifat dan sikapnya.
yang lebih membutuhkan suport, adalah mereka yang tidak bisa memanfaatkan dan melaksanakan fase pembentukan pola dan kwalitas pikir ketika duduk bangku pendidikan. Barangkali karena malas, atau bahkan karena tingkatan kecakapannya yang memang tidak memadahi. Jelas saja potensi pikir yang dimilikinya belum bisa dijadikan andalan, walaupun sebatas konsep teoritis saja. Tapi mereka masih terhormat jika dengan potensi pikir seadanya mau mengaplikasikan kedalam tindakan nyata agar bisa mendatangkan kemanfaatan, tanpa terkendala gengsi. Sehingga tindakan apapun yang menurut orang lain mereka bisa lakukan, dengan menepis gengsi mereka belajar untuk melakukan. Banyak contoh nyata, diantaranya ada seorang lelaki lulusan SMA yang tampan rela menjadi “abang becak”, tetapi karena ia cerdas akhirnya bisa menggaet “PNS” dan Istri yang cantik pula (hebat, kan ?). Lain lagi, ada beberapa orang yang berprofesi sebagai guru. Berpendidikan sarjana Konon, guru adalah jabatan yang bermartabat. Tetapi mereka toh tidak malu untuk terjun sebagai petani di sawah, ada yang menjadi sales, ada yang berdagang kripik, disenggang waktunya. Disamping dengan niat mengkais rejeki, juga sengaja meneladani generasi penerus bangsa. Nistakah mereka ? Camkan…..!
Lain lagi yang perlu dikasihani, agar segera bangun dari mimpi hampanya, yaitu mereka yang tingkat kecakapannya tidak atau kurang memadahi, tetapi merasa punya potensi pikir yang hebat, dan menyalahkan pihak lain jika tidak memperoleh kedudukan yang dianggapnya bermartabat. Apalagi suka niru karakter kaum “priyayi” di jaman Kompeni.
Terbiasa tidur sepanjang pagi. Habis tidur, cari hiburan di discotik, di keremangan malam, atau setidaknya di pinggir kali mengail ikan. Mereka ini sebenarnya adalah korban kebodohannya sendiri, karena melarikan kelemahan pikirnya di belantara ilusi kaum elit. Oleh karena itu, marilah generasi penerus negeri ini, untuk segera merevisi pandangan tentang “martabat yang bermartabat” yang relevan dengan tuntutan jaman, yaitu suatu gelar, kedudukan, tingkatan, yang mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, tanpa pandang di mana letak levelnya, selagi tidak melanggar hukum adat, hukum Negara dan hukum agama. Justru meraka yang berjiwa besar adalah yang berwawasan martabat yang tertinggi adalah derajat yang mampu mendekat dengan level manusia yang paling bawah (Ingat Al Ustad Jefri Al-Buqori Alm).
Semoga kupasan yang teramat singkat ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Amiin Ya Robbal Alamiin.
                                                                                                                     Pati Utara, 25 Agustus 2013

Related Posts:

1 Response to "Martabat yang bermartabat"

  1. Kupersembhkan artikel ini sebagai kado untuk anak bangsa negeri ini

    BalasHapus