NAPAK TILAS JEJAK UJIAN NEGARA, EBTANAS, DAN UN
(Merenung semenit bersama Sikarang Batukapur makhluk
dungu pengembala Angin)
Di
kawasan pagelaran pendidkan formal, portal akhir keberhasilan peserta didik di
setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah yang telah terlanjur terjadi dewasa ini
lebih condong disimbuli dengan kelulusan pada
ujian akhir (ma’af ya, jika simbah
memaknai kelulusan ujian akhir
dengan kata ‘disimbuli’, dan bukan ‘dilegalisasi’, nanti
sajalah simbah ungkap apa alasannya sampai simbah berujar begitu). Yang pasti bahwa kewenangan memproduk
insrumen ujian akhir itu berada di dua
sisi yang tak sepadan tingkat
kemanjurannya. Maksud simbah, bahwa instrument ujian akhir yang berwujud
soal-soal itu menurut peran pentingnya terhadap vonis kelulusan dibedakan atas
2 macam, yaitu :
(1) Soal
dari sejumlah mata pelajaran yang diotonomikan kepada satuan pendidikan, baik
dalam pengadaan sampai pada norma pengambilan keputusan dalam penilaian.
(2) Soal
dari beberapa mata pelajaran yang pengadaannya sampai pada norma penilaiannya
menjadi kewenangan pemerintah.
Dari
dua porsi soal tersebut jika perbandingkan daya sakralnya terhadap kelulusan
peserta ujian akhir, maka akan diperoleh ketentuan yang sama disepanjang masa ,
yaitu porsi soal yang ke (2) lebih tampil sebagai juara penentu kelulusan. Lho,
kalau begitu kan tidak perlu diperbincangkan ? (fosil semut purba membantah).
Nah, yang begini ini harus simbah kasih penjelasan.
B
arangkali simbah tidak perlu ngotot meresensi hasil karya para pakar peramu strategi
kelulusan, seandainya ramuan yang senantiasa diubah komposisinya dari
waktu ke waktu itu tidak berdampak konyol terhadap mentalitas anak bangsa.
Apalagi kalau kekonyolan itu berimbas mencemari mental. Untuk itu, agar simbah tidak dibilang
mengada-ada, maka perkenankan simbah
untuk sedikit mengkritisi ‘madu racunnya’ undang-undang pemerintah
tentang vonis kelulusan peserta ujian akhir tiap satuan pendidikan dari masa ke masa.
A.
Vonis kelulusan peserta ujian akhir di era Orde Lama
Pada
jaman ini, bukan hanya tradisi saja yang masih mengesan dengan pengaruh
kolonial, tetapi juga beberapa aturan yang belum sempat berkembang termasuk aturan
di bidang pendidikan. Sehingga pada masa
ini penentu kelulusan para peserta ujian akhir disetiap jenjang pendidikan justru mutlak diputuskan oleh pemerintah, tanpa ada awalan kebijakan di tingkat bawah yang berupa
tawar menawar norma penilaian untuk memperbesar kwantitas kelulusan. Memang
inisiatif untuk mengeksplor kwantitas output hasil pendidikan pada pasca kolonialisme itu belum begitu memicu gengsi
para perancang sekenario system penddidikan di negeri ini. Bahkan dari
pengalaman sejarah, bisa diambil
pelajaran, bahwa memartabatkan bangsa di
mata dunia lebih berkharisma dengan mengaktingkan orang-orang yang berkwalitas lahir batin kendatipun jumlahnya
tidak seberapa, dari pada mengerahkan
lebih banyak pasukan berani mati tanpa bekal skil secuilpun (Wah…, jika ini
yang terjadi, ya sama saja dengan solusi model
raja Rahwana untuk mengurangi kepadatan rakyatnya).
Beranalisis
dari fenomena tersebut, maka persoalan lulus atau tidak lulus pada jaman orde
lama bukanlah suatu problematika yang menghebohkan. Hal ini karena peserta
didik sudah siap mental sebelumnya. Mereka sudah mengambil pelajaran dari
generasi pendahulunya, dan faham betul bahwa kelulusan bukanlah sekedar simbulisasi melainkan sebuah legalisasi. Baiklah,
sekarang akan simbah beberkan tentang
ungkapan ‘ keberhasilan peserta didik
yang disimbuli dengan kelulusan pada ujian akhir’, artinya bahwa lulus pada
ujian akhir yang ditandai dengan selembar ijasah itu semata-mata hanyalah
sebagai bukti fisik telah menepuh pendidikan selama kurun waktu sesuai ketentuan , tanpa mempermasalahkan
bahwa pemegang bukti fisik tersebut telah betul-betul menguasai sekaligus bisa
mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajarinya di bangku pendidikan, atau
justru malah sebaliknya. Lain lagi den gan ungkapan ‘keberhasilan peserta didik
yang dilegalisasi dengan kelulusan pada ujian akhir’, artinya bahwa lulus pada
ujian akhir yang ditandai dengan selembar ijasah itu merupakan bukti fisik
bahwa yang bersangkutan benar-benar telah menguasai sekaligus bisa mengaplikasikan
pengetahuan yang telah dipelajarinya di bangku pendidikan. Dan ungkapan simbah
yang terakhir itu benar-benar pernah terjadi di era orde lama.
B.
Vonis kelulusan peserta ujian akhir di era Orde Baru
Era
Orde Baru diilhami dengan adanya REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun),
dengan sasaran bidik segala bidang, tak terkecuali bidang pendidikan , dengan
area penggarapan sampai ke pelosok
pedesaan. Maka sebagai langkah lanjutnya secara marathon dicanangkanlah program
pemberantasan ‘buta membaca, menulis , dan menghitung’, kemudian Wajib Belajar
6 tahun, yang beberapa tahun menjelang akhir jaman ‘ORBA’ ditingkatkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun,
dikandung maksud agar masyarakat Indonesia
bisa melengkapi dirinya dengan pendidikan minimal setingkat SMP. Menurut
simbah, patut kita acungi jempol andaikata program wajar ini diformat
sedemikian rupa, sehingga berpotensi maksimal
untuk bisa meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia), sehingga kelulusan
peserta wajar bukan hanya ‘simbolisasi’. Yang simbah kawatirkan jika terjadi ‘mal
format’ (dalam artian salah meformat), sehingga
‘ wajar’ hanya merupakan sebuah solusi
memaksimalkan kwantitas simbolisasi manusia terdidik di mata dunia (semoga yang
dikawatirkan simbah itu tidak benar, sebab jika benar, maka simbah akan
menafsirkan bahwa kelahiran ‘wajar’ lantaran ‘gengsi’ dibilang ‘low public
education’.
Krosscek
simbah terhadap kupasan di atas adalah sebagai berikut. Seiring dengan
berjalannya waktu, maka ‘legalisasi’ keberhasilan peserta ujian akhir disetiap
jenjang pendidikan dasar dan menengah semakin menjauh dari pengaruh tradisi kolonial.
Barangkali ini merupakan sebuah upaya menampilkan jati diri, sehingga baik
instrument maupun norma dan kebijakan penilaianpun berangsur-angsur semakin
condong kearah memaksimalkan kwantitas kelulusan. Sebagaimana Ujian Negara yang
diberi merk ‘EBTANAS’. Yang ini,
pengadaannya sampai pada norma penilaiannya memang menjadi kewenangan pemerintah,
namun tidak ada batasan minimal yang mensyarati peserta ujian untuk bisa lulus,
karena peran nilai rapor dua semester pada tingkatan kelas terakhir , yaitu
nilai rapor semester gasal (P) dan nilai rapor semester genap (Q), serta indeks Nilai EBTANAS (n) sebagai penentunya.
Ketika itu formula untuk menghitung nilai ijasah yaitu : (P + Q + nR) : (2 +
n). Nilai rapor diotonomikan pada satuan pendidikan dengan kronologi penilaian yang bisa ‘disilumani’.
Uniknya, sebelum jatuh tempo sidang penegasan kelulusan, lembaga pengawas
pendidikan mengundang segenap pimpinan satuan pendidikan untuk memastikan
kelayakan indeks nilai EBTANAS (n) agar
tidak ada pihak tertentu yang merasa dirugikan. Bosa-basi tarik ulurpun
terjadi, tapi toh akhinya tidak ada keluhan apapun dengan tampilnya indeks yang
‘imut’, karena sebelumnya nilai P dan Q sudah dikemas sedemikian rupa . Bayangkan
saja, jika n = 1,25; P = 8 dan Q = 8, maka penjabaran kalkulasinya sebagai
berikut :
Nilai ijasah = (8 + 8 + 1,25 x 2,00) : (1
+ 1 + 1,25)
= 18,50 : 3,25
= 5,69
Memperoleh nilai ijasah 5,69 sudah
memenuhi kreteria kelulusan karena nilai pembulatannya menjadi 6. Padahal
saking responsifnya, para dukun nilai di setiap sekolah telah menyilumani nilai
P dan Q semaksimal mungkin , sehingga bukan merupakan hal yang tabu membuat
nilai 9, bahkan sampai 9,5. Wal hasil,
masyarakat awam menghujat dengan kata ‘bodoh’ bagi sekolah yang tidak bisa
meluluskan peserta ujiannya hingga 100 %. Dan sejak itu hasil ujian akhir lulus
100 % semakin ’membuah-bibir’ di setiap sekolah dan masyarakat, hingga nyaris tidak
ada sekolah yang berani mempertahankan kwalitasnya dengan cara menunda kelulusan bagi peserta
ujian yang memang belum layak untuk lulus.
Merentang
kebijakan EBTANAS sebagaimana terpapar
di atas, simbah melihat ada dua sisi yang sama-sama mengundang perhatian, antara lain :
(1)
Sisi yang menguntungkan, yaitu :
a.
Memotivasi minat sekolah anak bangsa yang kadar
intelegensinya dibawah standar.
b.
Mempercepat penuntasan program ‘wajar’.
c.
Memenuhi harapan peserta didik dan orang tua
siswa, yang menginginkan belajar selesai tepat waktu.
d.
Mencitrakan martabat sekolah dan guru di mata
masyarakat, pengawas pendidikan, dan pemerintah.
e.
Lebih mudah untuk mengenali kualitas siswa
dalam menguasai materi yang diebtanaskan, karena kemurnian nilai
tersebut nyaris tidak terganggu, lantaran untuk meluluskan peserta ujian lebih
gampang dengan ‘mensilumani’ nilai P dan Q ketimbang ‘mencurangi’ nilai ebtanas.
(2)
Sisi yang merugikan, yaitu :
a.
Mengurangi kemandirian dan daya juang siswa
untuk menguasai bahan pelajaran.
b.
Menumbuhkembangkan asumsi bahwa sekolah semata-mata hanya sekedar syarat
untuk memperoleh ijasah. Dan bukan sarana untuk meningkatkan kwalitas diri secara lahir batin sesuai dengan tantangan
jaman.
c.
Semakin memperlebar kesenjangan antara kwantitas
dan kwalitas kelulusan peserta ujian.
Yah,
kira-kira begitulah problematika yang saling bertolak belakang, yang sudah
cukup waktu membelenggu gerak langkah pendidikan di negeri ini.
C.
Vonis kelulusan peserta ujian akhir pasca era Reformasi
Sebagai
merk sebuah gerakan perubahan, reformasi menggelora disetiap kelompok yang
mempunyai kepentingan. Namun yang sudah terlanjur merayap, bahwa reformasi dibigroni
dengan misi renovasi dan rehabilitasi. Maka pada era ini, renovasi dan
rehabilitasi dari output hasil pendidikaan dengan mengedepankan tinjauan
kwalitas. Lantas apa parameternya ? Lagi-lagi lantaran kedunguan simbah, maka
hanya tampilan beberapa gelintir pengetahuan akademik saja yang simbah ketahui
sebagai tolok ukur keberhasilan peserta didik dalam menempuh ujian akhir di
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan
beberapa macam lagi, yang tidak banyak
diantaranya diwarnai dengan akhlaq dan mental bangsa lepas dari teteskop
nurani simbah (atau barangkali teleskopnya simbah, ya, yang eror ?)
Analisa
simbah sebagamana terjabar di atas ,argumentasinya adalah demikian :
(1)
Hakim
penentu kelulusan ujian akhir peserta ujian di jenjang pendidikan dasar dan
menengah masih didominasi oleh nilai Ujian Nasional (UN), yang dulu EBTANAS. Dan
misi reformasi menghendaki adanya peningkatan kwalitas. Solusinya dengan
meraibkan angka indeks yang kemarin jadi ‘pacar setianya nilai Ebtanas,
sedangkan nilai UN ada titik tetap bawahnya (Wah, kok seperti membuat skala
suhu pada thermometer). Sedangkan nilai
lain yang kapasitasnya sebagai ‘kuasa hukum’ yaitu nilai rata-rata rapor
semester 1 sampai 6, dan nilai ujian sekolah yang keduanya masih diotonomikan
kepada sekolah, dan bisa ‘disilumani’. Namun demikian, para dukun nilai jadi
‘mal praktek’ jika nilai UN yang diperoleh para peserta ujian belum bisa
menjangkau titik tetap bawah. Perhatikan sejarah proses penghitungan nilai
akhir berikut ini :
40%
Nilai rata-rata rapor semester 1 sampai 6 + 60%
nilai ujian sekolah = Nilai Sekolah (NS)
40%
NS + 60% NU = Nilai Akhir (NA)
Syarat
lulus :
NU
minimal = titik tetap bawah
NS
minimal = 6,00
NA
minima = 6,00
Nilai
rata-rata NU sesuai keputusan.
Memang
benar, seandainya titik tetap bawah nilai UN yang senantiasa dinaikkan
derajatnya setelah kurun waktu tertentu
itu punya kekebalan terhadap pengaruh sihir para dukun nilai, maka kwalitas
akademik output pendidikan semakin bisa diandalkan. Namun, bila titik tetap
bawah UN semakin naik derajat semakin diimbangi dengan kecanggihan para dukun
nilai, maka kwalitas output pendidikan di negeri ini seperti gerak semu harian
matahari, yang sehari-harinya seolah-olah bergerak cepat dari timur ke
barat, namun kenyataannya matahari tidak
pernah bergeser dari tempatnya.
Mencermati
kenaikan derajat titik tetap bawah UN,
sejak kelahirannya sampai saat ini entah sudah berapa kali. Akan tetapi, selama
ini nampaknya belum ada sekolah yang kedodoran (ya, kalaupun ada itu sangat
langka). Buktinya, dinaikkan seberapapun titik tetap bawah UN, kelulusan ujian
akhir 100% tetap menyertai hampir di
setiap sekolah. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, simbah menjadi
semakin dungu untuk menafsiri status kelulusan peserta ujian akhir disetiap
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang semakin membudaya di negeri ini.
‘Simbolisasikah’ ? atau ‘Legalisasi’ ?
(2)
Sejak
awal peserta didik mengenal pendidikkan formal di bangku sekolah, sejak itu
pula dimulai transfer pengetahuan yang diindikatori dengan aktivitas yang
disebut didikan maupun latihan yang dikemas dalam beberapa mata pelajaran.
Untuk
mengukur kemampuan siswa dalam menguasai pengetahuan yang ditransfer dari guru
ke siswa maka dilakukanlah penilaian. Ketika itu sang guru meminta siswa
memperlakukan dengan sikap yang sama terhadap seluruh mata pelajaran yang
diajarkan. Dengan demikian, sejak awal siswa telah diajari untuk berlaku adil
terhadap seluruh mata pelajaran. Status nilaipun tidak mau dibedakan antara
pelajaran yang satu dan yang lain dengan kategori penting atau tidak penting.
Lantas kalau pada keputusan keberhasilan akhir,
hanya segelintir mata pelajaran yang menjadi acuannya, Apa ini tidak
sama artinya dengan ‘mengibuli ‘peserta didik ?.
Tapi semua pihak menjadi ta’at karena
perancang sekenarionya adalah pemerintah (wah, pendidikan kok malah dijadikan
‘dagelan’).
Oleh
karena itu, sebagai warga Negara yang baik, marilah kita merenung bareng,
mengonsep solusi bareng, menyikapi
bareng, tapi kalau cari kreditan tidak usah bareng).
Semoga
bermanfaat.
Pati Utara,
pertengahan April 2013
0 Response to "NAPAK TILAS JEJAK UJIAN NEGARA, EBTANAS, DAN UN"
Posting Komentar