Artikel
KIAN
LIHAI PUBLIK BISNIS POLITIK KIAN MERANA PEMILU DITINGGAL PEMINATNYA.
Oleh
: Yusuf Trimulyo, S.Pd
“Pesta demokrasi”, demikian publik mengistilahkan Pemilihan Umum yang
dilasanakan setiap 5 tahun di negeri ini. Cuma sepengggal kalimat, memang. Akan tetapi daya sugestinya mampu menjerat emosi
masyarakat. Bagaimana tidak ?, kalimat
itu seolah sengaja diruncingkan oleh para pakar politik ke dalam pengertian “suka
ria”-nya rakyat, agar mampu mengeliminasi pengertian “suka duka”-nya rakyat.
Demokrasi
adalah sebuah acuan bentuk Negara yang melegalisasi rakyat (dengan wakil di
parlemen) sebagai penguasa, dan presiden selaku pelaksana. Inilah aturan
pemerintahan yang diformulaskan “dari rakyat untuk rakyat”. Sehingga agar tidak
terjadi demokrasi yang “kebablasan”, maka public harus memilih para wakilnya
yang diusung dengan kendaraan partai potitik, dan ksatria daerah yang ditokohkan sebagai wakil
dari daerah. Jadi sudah jelas, bahwa para wakil rakyat yang duduk di kursi DPR
maupun DPD itu sudah menyanggupi, bahkan sudah berikrar untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat, tanpa ada tendensi yang lain. Sungguh sangat mulia jabatan itu
diteropong dari sudut patriotisme dan kemanusiaan. Jadi jangan diangap aneh
jika pada fase awal pelaksanaan pemilu itu publik berbondong-bondong
mengkonser layaknya menyambut pesta
gratis. Mereka begitu antusias karena menghendaki sebuah perubahan yang lebih
baik dalam segala hal.
Pada
argumentasi yang lain, dengan instrumen apa dan bagaimana publik bisa
menggunakannya sebagai parameter untuk
membuat penilaian terhadap partai politik beserta kader yang bakal dinobatkan
menjadi wakil rakyat ?, sementara publik hanya divasilitasi dengan visi misi
partai dan kabar kepopuleran para
kadernya. Publik tidak begitu heboh menebar kecemasan tentang keberlangsungan
visi misi itu, karena sejak awal keluar dari pabrik politik, kemasanya sudah sangat meyakinkan. Lagi pula, mayoritas
para kader calon anggota legislatifpun publik tidak banyak tahu tentang bagaimana kronologis
kemasyarakatannya, karakternya, loyalitasnya, kejujurannya, dan patriotismenya.
Namun lantaran konsep “suka ria” yang dicanangkan para elit politik itu mampu
berakting menghepnotis nalar publik, maka publik tak ragu lagi tentang masa
depan bangsa dan Negara ini dikemudikan oleh kader parpol calon anggota legialatif yang
menjadi pilihannya. Publik beranggapan,
disaat pesta pora mereka menjatuhkan pilihannya diwarnai dengan suasana
suka, dan esuk hari para calon terpilih akan memenuhi janjinya dengan membawa
publik ke sebuah fenomena yang ria atau sejahtera.
Pasca
pemilu publik menanti janji yang sudah telanjur diyakini bakal terbukti.
Namun benarkah kesepakatan politik yang telah diikrarkan para pemburu kursi legislatif
itu bisa dipegang kepastiannya ? Ternyata bagi mereka banyak yang berdalil
bahwa janji bukanlah hutang. Sehingga,
baik yang disebut “ikrar” ataupun yang disebut “janji” itu hanya sebuah
persyaratan untuk menyusun kalimat-kalimat dalam visi dan misi belaka. Wal
hasil, masyarakat kecewa karena apa yang diharapkan dari hasil pemilu itu tak
kunjung tiba, ibarat menanti curahan hujan di musim kemarau. Maka konseppun
berubah menjadi “suka duka”, artinya pada fase awalnya saja publik merasa
senang namun pada akhirnya harus dibayar dengan kedukan.
Benarkah
hasil pemilu mengecewakan publik ? Lantas bagaimana sambutan publik pada
pemilu-pemilu yang berikutnya ? Kecewa
tidak kecewa toh pemegang birokrasi yang dinafasi pesan politik tetap cerdik
dalam berstrategi. Lagi pula, mayarakat kita bukanlah mayarakat pendendam.
Alasan ini pernah dipaparkan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, Prof. DR. Edy Suandi Hamid, Mec, “Masyarakat kita banyak yang cepat
lupa, gampang ditipu, dan gampang disogok, serta pemaaf” (SM, 1 – 15 April
2013, halaman.10). Itulah sebabnya
masyarakat tetap taat menerima pagelaran pemilu karena tak mau ‘menterorisi’
konsep Negara demokrasi . Namun demikian, daya kritis mayarakat nampaknya semakin tidak
tahan melihat kebohongan-kebohongan elit parpol yang semakin membabibuta,
sehingga publikpun di ujung
kejengkelannya juga akan mengintimidasi penampilan pemilu-pemilu yang berikutnya dengan
meningkatkan jumlah “golput”.
Mensiasati golput, para elit politik tak kurang jalan. Meraka sangat faham, apa yang lebih gampang
untuk mendekati publik saat ini. Tak
lain adalah media komunikasi. Dan memang benar, banyak parpol yang memanfaatkan
peluang emas ini dengan menyuguhkan pesan-pesan yang mempengaruhi perhatian
publik melalui TV, koran, radio,dsb. Sekilas menyerupai pesan moral, atau pesan
sosial, bahkan pesan kebangsaan. Akan tetapi, ujung-ujungnya hanyalah nuansa
politik yang berisi sebuah ajakan untuk memilih parpol, caleg, cakada,atau
capres tertentu.
Satu
lagi jurus politik yang kian membudaya
dan kian mengkarakteri mayoritas publik level menengah ke bawah, yaitu jurus “the money”. Jurus
ini menobatkan publik sebagai produser, sedangkan para parpol, caleg, calon
pemimpin daerah atau calon pemimpin negara sebagai pembelinya, sehingga kompas
pemilu membuat simpangan dari arah yang semestinya. Senada dengan perihal
tersebu, Rektor UII Yogyakarta menambahkan, “Secara jujur kita juga harus
mengakui kalau saat ini tidak hanya ada politisi busuk yang membeli jabatan, tetapi pemilih busuk yang mengharap dibeli juga sangat
banyak. Para pemilih busuk ini tampaknya harus diberi perhatian oleh semua
pihak agar politisi busuk tidak mendapatkan kesempatan berkuasa di negeri ini”,
kupasannya di SM pada periode 1 – 15 April 2013, halaman 10 itu.
Sebenarnya
ganjaran yang semestinya dipaketkan ke alamat para pedagang politik itu sudah
dicanangkan dalam sanksi pelanggaran pemilu. Namun sejauh ini belum mampu menjerakan
oknum-oknum tersebut. Sanksi itu ibarat
senjata berpeluru karet, siapa takut ? toh tak mampu membunuh. Nah, dengan
maraknya transaksi politik semacam itu, maka hukum negasinya matematika yang
menyatakan “jika x maka y” akan
memprediksi nasip pemilu di negeri ini, karena aplikasi hukum
negasi itu akan membuat pernyataan “
Jika banyak uang terdistribusi ke publik maka banyak pemilih yang memberikan
suaranya”. Sebaliknya “jika makin sedikit uang tersebar ke publik maka makin
sedikit pula publik yang memberikan suaranya”. Dan dalam kenyataan jumlah
pemilih yang bersedia memberikan suaranya pada pelaksanaan pemilu- pemilu berikutnya
semakin menyusut. Mungkinkah ini dekat hubungannya dengan penditribusian
“fulus” ? Tak dapat dipungkiri, transaksi dengan para politisi, ada beberapa peleton publik yang pasang aksi ”
jual mahal”. Peleton publik in punya bisnis politik, “berani bayar berapa untuk
tiap suara ?” Sehingga dampak dari kelihaiannya berdagang plitik itu bisa mengancam daya minat terhadap pemilu. Apalagi pada peleton
publik yang lain memutuskan lebih baik tidak memilih dari pada
menjatuhkan pilihan yang pada akhirnya tidak berpihak kepada rakyat. Kalau sudah begini, pemilu makin merana
ditinggal para peminatnya. Oleh karena itu, dalam antisipasinya guru besar UGM Prof DR Sunyoto Usman
memaparkan, “Pasa saat daya kritis masyarakat dilumpuhkan oleh media dan para
pelaku politik, kita harus melakukan pencegahan”. Menurutnya proses pencegahan atau
preventifikasi itu ada 3 macam, yaitu :
(1) Preventifikasi
jangka pendek, yaitu dengan cara
mensosialisasikan sistem perpolitikan di Indonesia kepada masyarakat.
(2) Preventifikasi
jangka menengah, yaitu dengan cara memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat agar tidak buta politik. Menyampaikan kepada masyarakat bahwa
program-program atau janji-janji yang diucapkan para elit politik tidak semua
bisa dibenarkan.
(3) Preventifikasi
jangka panjang, yaitu dengan memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia,
melakukan kaderisasi dengan benar agar tercipta politik yang bersih.
Menyibak
tabir fenomena pemilu di Indonesia yang konroversial itu, sudah semestinya semua
pihak yang terkait, mulai dari publik yang mempunyai pengetahuan tentang
perpolitikan, ormas, LSM, sampai dengan penyelenggara pemilu yaitu Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dari puat sampai ke daerah segera mensosialisasikan
informasi yang benar tentang esensial pemilu bagi masa depan bangsa dan Negara.
Sedangkan di sisi lain, permainan politik ‘jual beli jabatan’ yang berdampak
pada kalkulasi untung rugi harus segera dimusnahkan, karena tragedi yang
terakhir ini akan memicu peningkatan natalitas koruptor.
Semoga
semua pihak mampu tergerak hati nuraninya untuk berpartisipasi mengatasi
problematika yang telah merasa nyaman bersarang di ajang kepemiluan negeri ini.
Pati Utara, Juni 2014
#####################################################################################################################################################################################################################
0 Response to "Bisnis Politik"
Posting Komentar