Terpangkas

Renungan 


TERPANGKAS

Pemapar : 
Sikarang Batukapur












Assalamu'alaikum Wr Wb.



أربعة من كنز الجنة: إخفاء الصدقة، وكتمان المصيبة، وصلة الرحم، وقول "لاحول ولاقوة إلاّ بالله" (رواه الخطيب عن علي)


Ada empat perkara berupa tabungan di surga yaitu:
1. Menyamarkan sedekah
2. Menyembunyikan musibah
3. Silaturrahim
4. Ucapan "لاحول ولاقوة




               Jika masih mematuhi petuah Rosulullah, mestinya seberat dan sepahit apapun musibah yang diujikan oleh Allah SWT ya tetap disembunyikan jangan sampai diketahui orang lain. Akan tetapi orang seperti saya ini rasa-rasanya masih jauh dengan apa yang dinamakan sebagai umat Nabi Muhammad yang baik. Akan tatapi saya merasa bersyukur masih diperkenanan mengaku sebagai penganut dan pengikut Nabi Muhammad, walaupun masih terlalu sangat jauh dari apa yang disyaratkan.
            Sebenarnya sudah cukup lama aku berusaha untuk tetap menyembunyikan apa yang selama ini aku anggap sebagai musibah, karena itu mungkin hanya anggapanku saja, dan orang lain beranggapan sebaliknya, artinya suatu hal yang wajar. Karena itulah aku tetap menahan diri dari gejolak perasaanku yang semakin tersakiti. Lagi pula aku diliputi kecemasan dengan terpangkasnya tabungan surga yang aku pastikan dalam guci tabunganku baru terisi teramat sangat sedikit sekali, ibarat hanya sebutir pasir di gurun sahara. Lantas kapan tabungan surga itu bisa bertambah kalau sedikit yang ada saja harus terpankas. Maka dengan sepintas kupasan musibahku yang hendak kupaparkan ini, semoga Allah SWT berkenan menaburkan kebijaksanaan terhadap kekhilafanku ini.    












              Saya adalah sosok kecil yang diperankan sebagai guru non PNS serta mengabdikan diri di alam gaib pendidikan selama kurang lebih 32 tahun. Sejak bulan Juli 1986, munurut anggapan saya telah semaksimal kemampuan menanamkan pengetahuan titipan  Allah kepada anak bangsa negeri ini. Aku percaya bahwa ilmu yang diamanatkan oleh Allah memang harus disebar luaskan agar tetap bertahan keberadaannya di muka bumi ini, syukur semakin tersyi’ar menebarkan kemanfaat bagi banyak orang
                Ketika usia masih dibilang muda, apalagi tanggungan anak belum begitu butuh banyak biaya, aku senantiasa mencurahkan sebagian besar waktuku untuk mengajar. Dengan gaji yang pas-pasanpun tak banyak keluhan pada saat itu, karena istrikupun tak banyak menuntut. Ini yang kurenungkan sebagai berkah dan ridlonya gusti Allah yang menyemangati hasrat pengabdianku. Namun sebagaimana hukum alam yang terjadi, kian meninggi matahari terpancar maka kian memanas suhu udara menerpa badan. Itulah sebaris perumpamaan yang memang pasti terjadi pada manusia. Tak terkecuali aku, kian merasakan kebutuhan yang semakin berdatangan. Anak makin bertambah umur makin membutuhkan perhatian. Dan tidak sesederhana berucap atau membalik telapak tangan. Dan tidak sekedar dipikirkan atau berdialok di dalam angan saja, melainkan secara lahir dan batin harus dipaksa mau dan mampu mengkaryakan jiwa raga agar keterpurukan kebutuhan bisa teratasi.
















            Boleh dibilang miskin waktu untuk menyegarkan badan dan pikiran pada saat itu, karena pagi mengajar, siang berdagang, malam menyelesaikan sisa tanggung jawab dari episode aktivitas pagi hari. Kenapa mesti harus berdagang ? dan dagang apa ?  Tak perlu kusembunyikan karena bukan aib. Aku berjualan aneka ceriping, berkeliling dari satu desa ke pelosok desa yang lain. Itu memang harus aku lakukan demi mempertahanakan keberlangsungan dualisme keinginan, yaitu menjadi guru pengabdi yang tak menyesatkan masa depan anak-anaknya. Aku cenderung lebai dengan menyebut profesiku sebagai guru pengabdi, karena tak sebanding dengan guru bayaran yang lebih condong membidik materi belaka. Bukan tak bisa aku alih profesi yang lebih menjanjikan materi, tapi darah yang berdetak dari jantung merayap di sekujur tubuhku tak jauh berbeda dengan darah ayahku yang seorang guru. Dan sefakir apapun aku memang merasa senang menekuni pengabdianku sebagai pengajar.



















            Di zona komunitas orang-orang yang mencari pengakuan sebagai seorang guru, sebagaimana aku, sepertinya lebih cocok jika didomisilikan di alam gaib. Kenapa begitu ? Karena dalam selompok pengelola pendidikan tak ada yang bertanggungjawab secara penuh. Kalaupun ada, tak ubahnya hanyalah tanggungjawab semu belaka. Lagi pula siapa sih yang mau menaggung resiko kalau dalam kadar keikhlasannya masih mengkalkulasi untung dan rugi. Maksudnya pertanggungjawaban semu yaitu, untuk idealisme etos kerja memang sangat ditekankan, tetapi jika mengungkap unsur dibalik sebuah kewajiban, yaitu tentang hak yang mestinya akan dilahirkan dari sebuah kewajiban yang terlunasi, namun pada kenyataannya yang dilahirkan adalah makhluk abstral yang tak kasat mata, artinya jika tak terbayar di dunia maka tunggulah pembayarannya di akhirat kelak.
            Mengenai standar hukum benar dan salah di alam dunia memang tak ada yang bisa dipersalahkan karena si penangungjawab hanya berkuasa pada kawasan etos kerja saja. Tentang sumber energi pembangkit kwalitas kerja tergantung dari apa kemauan gusti Allah SWT. Dan satu hal yang lebih monobatkan dirinya pada tataran spiritual yang tinggi yaitu tentang pengakuan dan anjurannya, yaitu : No time is money but time is worship to god. Artinya janganlah menggunakan waktu untuk mencari uang, tetapi menggunakan waktu untuk ibadah. Sehingga aku yang selama ini menganut ajaran itu sering mendapat omelan dari istriku. Bukan berarti istriku mulai bosan dengan keadaan yang serba pas-pasan, tetapi siapapun yang menjadi seorang istri pastilah akan merasa prihatin dengan kondisi suaminya yang seolah diperlakukan tidak adil.
            Tidak adil. Mungkin itu hanya egoku saja, karena aku merasa bekerja seharian, bahkan pada hari yang seharusnya aku liburpun aku perlukan untuk masuk bekerja, sehingga sampingan di rumah yaitu sepetak sawah yang butuh diurus agar hasil panen bisa mensuplai kebutuhan keluarga, jadi terkendala karena ongkos pengurusannya tersendat. Hingga pada saat kekesalan  istreiku sudah mencapai puncaknya, ia mengomel, “Pak..pak, tidak ada jam kok ya masuk sekolah. Begitu itu kan lebih baik mengurus sawah, biar mengurangi ongkos upahan orang. Kalau begini ini, pemasukan tidak ada tapi pengeluaran mesti”. Nah, serentetan peristiwa dan keadaan seperti yang kualami itulah yang aku lebih menyebutnya sebagai musibah. Tapi ma’af, karena barangkali saja bagi orang lain akan menganggapnya sebagai berkah. Semoga bapak ibu di luar sana yang berkenan merespon ulasanku ini, terkesan baik atau buruk, sudilah menyampaikan komentarnya demi kemanfaatannya untuk orang banyak. Semoga Allah SWT memberikan taufiq dan hidayahnya untuk kita. Amiin Yaa Robbal Alamiin.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Pati Utara, 13 Maret 2018




Related Posts:

0 Response to "Terpangkas"

Posting Komentar