Tarip Cinta

Renungan






TARIP CINTA 
Oleh : Sikarang Batukapur, makhluk dungu penggembala angin

 Assalamu'alaikum Wr Wb.

      

        Telah cukup waktu benak saya menampung problematika yang berpusing berputar-putar seperti lingkaran setan. Sulit untuk menemukan mana ujungnya dan mana pula pangkalnya. Apalagi memvonis dengan sebuah kepastian siapa yang salah dan siapa pula yang benar, karena masing-masing mengajukan argumen yang logis. Akan tetapi kalau saya diperkenankan untuk mengevaluasi, maka lewat media ini, dengan segala keterbatasan saya akan terkuak walaupun hanya sepintas saja.
            Inti persoalan yang akan saya angkat di sini adalah tentang loyalitas atau dedikasi. Tak bisa diabaikan, bahwa orang yang telah memprofesikan diri sebagai pekerja di bidang apapun pastilah akan dituntut memiliki loyalitas dan dedikasi. Bahkan sebagai petani sekalipun dibutuhkan itu.jika mengharapkan keberhasilan. Memang tak ada salahnya memasang tarip beragam untuk menuntut dedikasi dan loyalitas yang beragam pula, jika landasan yang dihalalkan diadopsi dari ungakapan dalam bahasa jawa “Jer basuki mawa bea”, yang artinya segala kebaikan membutuhkan beaya. Akan tetapi jika kita mau merasakan pahitnya sebuah kejujuran, pastilah akan menyadari bahwa diantaranya profesi yang spesifik ternyata ada yang menaifkan ungkapan ‘jer basuki mawa bea’. Profesi yang saya maksud adalah sebagai seorang guru, terlebih sebagai guru tidak tetap (gtt), non PNS lagi. Bukan sebuah rahasia lagi gaji guru gtt yang mengabdikan diri pada sekolah yang kurang bonafid mamang tergantung kemampuan sekolah. Sehingga mereka tidak mengenal dengan apa yang desebut UMR, karena yang difahami adalah UMS (upah minimal sekolah). Masih dibilang untung kalau penerimaannya lancar, artinya bisa didapatkan setiap bulan secara rutin, karena tak sedikit pula yang mengasuransikan gaji gtt menjadi tabungan akherat. Permasalahan semacam inilah kadang memicu terjadinya ‘broken loyality’ atau hancurnya sebuah loyalias. Tentu saja itu terjadi pada tipe orang yang senantiasa meneracai loyalitas dengan bandul materi.
            Tuntutan seorang guru adalah sama, baik yang berstatus PNS maupun yang tidak. Disamping berkuwajiban meningkatkan kwalitas siswa juga wajib menjaga kondisi psikis siswa tetap terjaga kenyamanannya. Oleh karena itu tugas seorang guru tak hanya menghantarkan siswa ke jenjang prestasi yang optimal saja, melainkan tatap muka guru dengan siswa yang telah dicanangkan pada jadwal harus semaksimal mungkin dipenuhi. Pemenuhan tatap muka dalam KBM memang sangat ditekankan untuk meminimalisir kegiatan-kegiatan negatif yang dilakukan oleh siswa.
            Guru bukanlah makhluk ajaib yang senantiasa dijauhkan dari aral yang melintang. Tapi guru juga manusia pada lazimnya yang bisa saja terbentur aral sewaktu-waktu. Oleh karena itu, apapun statusnya, sbagai PNS ataupun bukan, adalah suatu hal yang wajar jika mengajukan ijin tidak masuk mengajar satu atau dua kali dalam satu semester. Tentunya harus juga disikapi dengan memberikan tugas ke siswa untuk menghindarkan penyalahgunaan kesempatan yang dilakukan  oleh siswa. Akan tetapi jika terlalu sering ijin,  maka aura yang terpancar akan mengundang perhatian rekan sejawat untuk mengklarifikasi. Jika guru tersebut juga mengajar di sekolah yang lain, maka klarifikasi juga akan diteruskan ke sekolah lain dimana guru tersebut mengajar. Jika keterseringan ijin itu tak berlaku di sekolah lain, atau bahkan di sekolah lain guru tersebut merasa memperoleh kehormatan/kepercayaan dengan mengungkapkan kebanggaannya atas tugas-tugas itu, maka tak salah jika ada tuduhan mengabaikan loyalitas dan dedikasi. Ingat, profesi guru adalah pekerjaan yang spesifik, loyalitas dan dedikasi tak boleh ditaripi dengan materi.
            Guru adalah insan yang berpendidikan dan dimuliakan karena bertanggungjawab menghantarkan anak bangsa ke gerbang keberhasilan dunia akherat. Oleh karena itu ribuan pemuda dalam setiap tahunnya berbondong-bondong menyetokkan diri sebagai calon pendidik. Nah, mengingat begitu banyaknya animo para pemuda menyetokkan diri sebagai calon pendidik, maka yang timbul dalam ilustrasi pemikiran saya adalah sangat mengkawatirkan jika stok guru akan menginspirasi si penguasa lembaga pendidikan untuk mengadakan normalisasi loyalitas dan dedikasi dewan guru yang dipimpinnya. Hal inilah yang mengusik mata batin saya untuk mengajak rekan-rekan guru sejenak merenung. Sekali lagi ingat profesi ajaib yang bapak/ibu tekuni saat ini sangat spesifik, karena dedikasi dan loyalitas tak bias diukur dengan standar materi. Oleh karena itu bagi saya, dedikasi dan loyalitas seorang guru levelnya sederajat dengan cinta. Semoga sepintas ulasan dari saya ini ada manfaatnya. Aminn yaa robbal alamiin.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Pati Utara, 30 Maret 2018.

Related Posts:

0 Response to "Tarip Cinta"

Posting Komentar